Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Tanpa
kita sadari bahwa ternyata pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan
selama Orde Baru berlangsung, lebih didasarkan kepada kepentingan kebutuhan
investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi pada awal-awal pemerintahan
Orde Baru ( pasca 1966 ). Sumber daya alam seperti hutan, tambang, serta sumber
daya air dan mineral, selama ini dipandang serta dipahami dalam konteks economic sense dan belum dipahami
sebagai ecological dan sustainable sense. Pengelolaan sumber
daya tersebut secara tidak baik dapat membuat kita lupa akan pemikiran untuk
memperhitungkan dan mempertimbangkan keterbatasan daya dukung dan kerentanan
dari sumber daya alam tersebut. Pengabaian aspek daya dukung seperti ekosistem
dan perlindungan terhadap sumber daya alam ini mengakibatkan kerusakan yang
luar biasa. Salah satu contoh kerusakan yang ditimbulkan misalnya seperti yang
ada dalam buku panduan Bapak Sigit Wibowo, S.H., M.Hum yang berjudul “Reformasi
Hukum dan Kebijakan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam“, yaitu tentang meningkatnya
laju kerusakan hutan Indonesia yang berkisar 600.000 (enam ratus ribu) ha
hingga 1,3 ( satu koma tiga ) juta ha per tahun (GOI dan ADB, 1994). Sebenarnya
tak hanya dalam ruang lingkup perhutanan saja, namun dalam ruang lingkup
pertambangan pun juga sering kali timbul permasalahan. Dalam sektor
pertambangan, masalah lingkungan dan sosial juga cenderung diabaikan. Biasanya,
masalah yang sering ditimbulkan yaitu berkecimbung pada masalah pencemaran yang
ditimbulkan akibat dari penggunaan berbagai bahan kimia berbahaya, seperti
merkuri. Penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan
pertambangan terkadang juga mengakibatkan terjadinya permasalahan-permasalahan
yang besar. Oleh karena itu, aturan perundangan-undangan yang mengatur kebijaksanaan
atau kebijakan pengelolaan sumber daya ini sangat diperlukan demi terciptanya
keseimbangan lingkungan.
Dalam
kegiatan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta,
khususnya dalam mata kuliah Hukum Pemberdayaan Sumber Daya yang dibimbing oleh Bapak
Sigit Wibowo, S.H., M.Hum, telah dijelaskan tentang kebijaksanaan atau
kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber atau muara dari
kebijaksanaan tentang pengelolaan tentang sumber daya alam di Indonesia adalah
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “ Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “. Jika kita meninjau dan memahami
kembali rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 beserta penjelasannya,
batasan-batasan dan tugas negara dalam menguasai bumi, air dan kekayaan alam
belumlah jelas. Sedangkan tujuan untuk kemakmuran rakyat yang harus dijabarkan
dalam produk hukum yang lebih operasional belum dilakukan secara maksimal. Dalam
realita kehidupan terlihat bahwa berbagai kebijaksanaan pemerintah hanya
menguntungkan segelintir pengusaha dalam mengeksploitasi sumber daya dan tidak
diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Seiring berjalannya waktu, dengan fenomena
memprihatinkan tersebut, akhirnya berbagai kebijakan-kebijakan mengenai hal itu
mulai diperhatikan dan sangat perlu untuk dilaksanakan.
Dalam
modul yang diberikan oleh Bapak Sigit Wibowo, S.H., M.Hum, disebutkan bahwa
dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia diperlukan tindak lanjut sebagai berikut.
1.
Perencanaan pendayagunaan/pengelolaan sumber
daya alam yang memprihatinkan daya dukung ekosistem dan ditujukan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
2.
Langkah-langkah nyata tentang aktualisasi
prinsip “kemanfaatan masa kini dan jaminan kehidupan masa depan (intergenerational equity)”, dan
3.
Strategi pengelolaan sumber daya alam yang
bersifat terbarukan (renewable) dan
tidak terbarukan (unrenewable).
Ketiga
poin diatas dilakukan untuk mempercepat pengintegrasian agenda keberlanjutan
dan daya dukung ekosistem ke dalam praktik kehidupan kenegaraan kita. Untuk
mencapai semua itu, idealnya upaya pembaruan harus dimulai dari pembaruan
konstitusi kita yang kemudian dijadikan dasar bagi pengembangan kebijaksanaan
pengelolaan sumber daya alam. Akan tetapi, pengakuan secara normatif dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang bagaimana
seharusnya sumber daya tersebut dikelola tidaklah cukup. Upaya mendorong
terciptanya pemerintahan yang baik (good
governance) harus secara terus-menerus dilakukan untuk penumbuhan situasi
dimana checks and balances terjadi di
antara elemen-elemen bangsa. Betapa pun baik serta sempurnanya pengakuan aspek
keberlanjutan dan perlindungan daya dukung lingkungan dalam suatu konstitusi
dan atau peraturan perundang-undangan, akan sulit dilaksanakan dalam kondisi
pemerintahan yang buruk (bad governance).
Rujukan
:
Modul yang diberikan oleh
Bapak Sigit Wibowo, S.H., M.Hum, Dosen Hukum Pemberdayaan Sumber Daya di
Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dengan judul modulnya yaitu
“Reformasi Hukum dan Kebijakan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar