Sabtu, 10 Mei 2014

HARMONISASI HUKUM


Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta



Sebagai sebuah negara hukum, tentulah konstitusi menjadi acuan penyelenggaraan negara dan kehidupan kenegaraan. Esensinya, negara memiliki tatanan hukum yang merupakan bingkai norma-norma hukum agar saling terintegrasi menjadi sebuah sistem. Secara hierarki, norma hukum tersebut tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari norma hukum lainnya. Jika pada nantinya terjadi suatu konflik antar norma –norma tersebut, maka akan tunduk pada norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. Karakteristik dari norma hukum yang tunduk pada norma dasar tersebut adalah konsistensi dan legitimasi, yang berarti bahwa suatu norma hukum tetap berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya berlakunya diakhiri melalui cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri (Wawan, 2012: 163). Berkaitan dengan karakteristik tersebut, berlakulah prinsip “lex specialis derogate legi generalis” yang artinya undang-undang (norma hukum) yang khusus mengesampingkan undang-undang (norma hukum) yang umum. Hal ini hanya boleh terjadi apabila  norma hukum yang umum tidak jelas atau untuk mengatur norma hukum yang dibutuhkan, sehingga tidak menyimpang dari keharmonisasian norma-norma yang ada dalam tatanan hierarki sistem hukum nasional.
Keharmonisasian hukum ini diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satu pasal yang menyebutnya adalah pasal 18 ayat (2), dinyatakan : “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan pernyataan pasal tersebut, harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu kementrian, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan dibebankannya harmonisasi hukum ini pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak lain adalah agar norma-norma dalam rancangan undang-undang yang dimaksud tidak bertentangan baik secara vertikal dengan UUD 1945 maupun secara horizontal dengan undang-undang lainnya.
Akan tetapi dalam kenyataannya, harmonisasi hukum ini tidak mudah diwujudkan dalam kehidupan kenegaraan. Hal ini mengingat adanya perubahan-perubahan yang selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat. Berkembangnya masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi disegala bidang, salah satunya adalah pada bidang pelayanan publik oleh birokrat yang merupakan pokok dari upaya pembangunan bangsa dan negara. Pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini masih dirasakan kurang berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi. Hal ini terbukti dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah seperti tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, maraknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur. Oleh karena itu, dibutuhkanlah suatu upaya yang komprehensif dan terintegritasi dalam upaya mendorong peningkatan kerja birokrasi aparatur negara. Amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Salah satu senjata ampuh untuk mewujudkan pemerintahan yang demikian adalah politik hukum. Untuk itu, demi kesejahteraan dan kenyamanan rakyat Indonesia, sebaiknya dalam pelaksanaa hukum politik ini haruslah benar-benar bersih, tanpa ada penyelewengan-penyelewengan dari pihak manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Hariri, M, W. (2012). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran