Sulfi
Amalia
Fakultas
Hukum
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Sebagai sebuah negara
hukum, tentulah konstitusi menjadi acuan penyelenggaraan negara dan kehidupan
kenegaraan. Esensinya, negara memiliki tatanan hukum yang merupakan bingkai
norma-norma hukum agar saling terintegrasi menjadi sebuah sistem. Secara hierarki,
norma hukum tersebut tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari norma hukum
lainnya. Jika pada nantinya terjadi suatu konflik antar norma –norma tersebut,
maka akan tunduk pada norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. Karakteristik
dari norma hukum yang tunduk pada norma dasar tersebut adalah konsistensi dan
legitimasi, yang berarti bahwa suatu norma hukum tetap berlaku dalam suatu
sistem hukum sampai daya berlakunya diakhiri melalui cara yang ditetapkan dalam
sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum
itu sendiri (Wawan, 2012: 163). Berkaitan dengan karakteristik tersebut,
berlakulah prinsip “lex specialis
derogate legi generalis” yang artinya undang-undang (norma hukum) yang
khusus mengesampingkan undang-undang (norma hukum) yang umum. Hal ini hanya
boleh terjadi apabila norma hukum yang
umum tidak jelas atau untuk mengatur norma hukum yang dibutuhkan, sehingga
tidak menyimpang dari keharmonisasian norma-norma yang ada dalam tatanan
hierarki sistem hukum nasional.
Keharmonisasian hukum
ini diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Salah satu pasal yang menyebutnya adalah pasal 18 ayat (2),
dinyatakan : “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan
undang-undang yang berasal dari presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan
pernyataan pasal tersebut, harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada
suatu kementrian, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan
dibebankannya harmonisasi hukum ini pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
tidak lain adalah agar norma-norma dalam rancangan undang-undang yang dimaksud
tidak bertentangan baik secara vertikal dengan UUD 1945 maupun secara
horizontal dengan undang-undang lainnya.
Akan tetapi dalam
kenyataannya, harmonisasi hukum ini tidak mudah diwujudkan dalam kehidupan
kenegaraan. Hal ini mengingat adanya perubahan-perubahan yang selalu
menyesuaikan dengan kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat. Berkembangnya
masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi disegala bidang, salah
satunya adalah pada bidang pelayanan publik oleh birokrat yang merupakan pokok
dari upaya pembangunan bangsa dan negara. Pelaksanaan reformasi birokrasi saat
ini masih dirasakan kurang berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi. Hal ini
terbukti dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi
perbaikan. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah seperti tingginya tingkat
penyalahgunaan wewenang, maraknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan
terhadap kinerja aparatur. Oleh karena itu, dibutuhkanlah suatu upaya yang
komprehensif dan terintegritasi dalam upaya mendorong peningkatan kerja
birokrasi aparatur negara. Amanah
reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia adalah menciptakan pemerintahan
yang bersih dan akuntabel. Salah satu senjata ampuh untuk mewujudkan
pemerintahan yang demikian adalah politik hukum. Untuk itu, demi kesejahteraan
dan kenyamanan rakyat Indonesia, sebaiknya dalam pelaksanaa hukum politik ini
haruslah benar-benar bersih, tanpa ada penyelewengan-penyelewengan dari pihak
manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Hariri,
M, W. (2012). Pengantar Ilmu Hukum.
Bandung: Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar