Minggu, 29 Maret 2015

Pelanggaran HAM dalam Pilkada

Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik.
Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Munir adalah pria sederhana yang bersahaja. Ia dikenal sebagai seorang tokoh, seorang pejuang sejati, seorang pembela HAM di Indonesia, namun hanya  sedikit yang tahu kalau ia memulai memulai karirnya dengan pandangan agama yang sangat esktrim.
Sudah sering kali pelanggaran HAM terjadi di Indonesia. Kita kupas saja salah satu pelanggaran tersebut, misalnya dalam hal pilkada. Seyogianya,ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan darah segar yang menghidupkan organisme demokrasi lokal dengan berfungsinya organ-organ politik di daerah. Meski demikian, sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia, ternyata sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Salah satu penyebabnya adalah karena kebebasan yang terbuka demikian cepat menyebabkan membanjirnya partisipasi dalam pencalonan kandidat kepala daerah, sementara ruang kompetisi sangat ketat dan terbatas.
Lagi pula, bayang-bayang potensi kekuasaan dan kekayaan yang amat menjanjikan dari jabatan kepala daerah menarik minat banyak kandidat,sementara kebanyakan dari mereka tidak memiliki integritas moral dan kapabilitas keahlian memadai. Karena itu,tidak jarang cara-cara licik dan premanisme politik,entah sengaja atau terpaksa,digunakan dalam meraup preferensi politik publik.

Di sinilah pelanggaran HAM kerap terjadi. Sejatinya,apresiasi terhadap HAM merupakan elemen penting yang harus ada di dalam sistem politik demokrasi. Karena itu, dalam rangka membangun demokratisasi dalam konteks lokal maka upaya meminimalisasi –jika tidak mungkin menghilangkan– pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan pilkada merupakan hal yang signifikan untuk diwacanakan.

Sabtu, 28 Maret 2015

Penerimaan Pajak dan Tax Reform




Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Penerimaan dalam negeri mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, roda pemerintahan dan pembangunan tidak dapat bergerak tanpa didukung oleh dana, terutama yang berasal dari dalam negeri. Salah satu sumber pendapatan negara yang berasal dari dalam negeri adalah penerimaan pajak.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Undang-Undang Perpajakan adalah Undang-Undang yang mengatur hak dan kewajiban para Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kita tahu bahwa pemerintah dari tahun ke tahun membutuhkan dana yang makin meningkat. Andalan sumber penerimaan negara yang selama ini terletak pada sumber-sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam, ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini disebabkan karena harga minyak bumi dan gas alam sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar internasional. Sementara itu, dalam jangka panjang, sumber-sumber daya alam tersebut akan semakin berkurang dan habis.
Menyadari hal ini, maka pada akhir tahun 1983, pemerintah Republik Indonesia mulai mengadakan Tax Reform. Tax Reform suatu pembaharuan / perombakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam bidang perpajakna yang dimulai pada tahun 1983, dilannjutkan pada tahun 1994 – 2000 hingga tahu 2008 (Pidato Kenegaraan dalam Besri, I, 2011). Adapun tujuan dari Tax Reform adalah Untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam rangka ikut membiayai pembangunan sehingga tidak bergantung pada minyak bumi dan gas.

Referensi :
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/22/makalah-hukum-pajak/

Merangkum Materi dalam Buku




Judul Buku                            : Pengantar Ilmu Hukum Pajak
Penulis                                    : R. Santoso Brotodihardjo, S.H.
Penerbit                                  : PT. Eresco
Tempat/TahunTerbit            : Bandung / 1993
Halaman yang dirangkum   : 38 sampai dengan 41

“ Rahasia Pajak ”
Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Ada bermacam-macam makna dari kata “keharusan merahasiakan” dalam pajak. Keanekaan makna itu merupakan suatu hal yang wajar saja terjadi. Hal ini karena setiap orang pasti memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda.
Untuk yang pertama, “keharusan merahasiakan” adalah untuk melindungi kepentingan wajib pajak. Bayangkan saja, si wajib pajak dengan rasa ketidakberatannya untuk membuka atau memperlihatkan kepada fiskus atas berkas-berkas pribadi maupun berkas-berkas perusahaan yang berkenaan dengan pajak, baik itu tentang buku-buku dan catatan-catatan lain yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, kepercayaan yang telah diberikan kepada fiskus harusnya dapat dijaga oleh fiskus dan jangan dikhianati demi keamanan privasi berkas-berkas si wajib pajak.
Makna kedua, dengan “keharusan merahasiakan” muncul adanya perlindungan bagi fiskus itu sendiri. Perlindungan yang dimaksud adalah Fiskus selalu dapat menolak sekeras-kerasnya setiap permintaan dari pihak mana pun, baik itu swasta maupun instansi-instansi pemerintah negara. Hal ini berarti fiskus tidak perlu melayani pihak yang meminta tersebut guna menghindari terhambatnya tugas fiskus karena adanya permintaan dari pihak tersebut.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah dengan adanya kenyataan bahwa fiskus dapat merahasiakan segala-galanya. Fiskus dapat merahasiakan apa yang telah dituturkan kepadanya dan atau yang telah dilihatnya mengenai diri dan perusahaan seluruh wajib pajak. Dengan demikian, kepercayaan rakyat kepada fiskus akan semakin mejadi tebal. Rakyat sudah tidak akan ragu-ragu lagi untuk memberikan atau menyerahkan informasi tentang segala data yang memang sifatnya sangat diperlukan untuk kepentingan penetapan pajaknya, dan tidak akan ada yang disembunyikan.
Selayaknya hukum yang ada di Indonesia, pelaksanaan dalam hukum perpajakan pun terdapat pengecualiannya. Berkaitan dengan “keharusan merahasiakan” tersebut, setiap pejabat fiskus diberikan pengecualian demi keharusan utnuk menjadi saksi dan apabila diperlukan guna kepentingan peradilan yang baik.
Contoh pengecualian di negara lain yang sudah pernah terjadi adalah di Australia. Auditor General, yang merupakan Badan Pemeriksa Keuangan dari negara Australia tersebut, memiliki wewenang untuk mengadakan pemeriksaan sampai kepada berkas-berkas individual para wajib pajak di Kantor-Kantor Inspeksi Pajak. Pengecualian yang semacam itu (lihat : the Audit Act of the commonwealth of Australia 1901-1973, Section 14C) didasarkan atas kenyataan bahwa :
1.      Juga Auditor General (beserta segenap pelaksana dalam seluruh aparaturnya) tugasnya adalah tertujukan kepada penyelenggaraan kepentingan umum karena harus mengawasi keuangan negara, yang bukan hanya menyangkut segi pengeluarannya saja;
2.      Auditor General juga terikat kepada “kewajiban merahasiakan” (semacam yang ada pada fiskus) seperti halnya juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Dari contoh di atas, dapat kita nyatakan bahwa tidak di semua negara dipakai kriteria yang sama oleh pemerintahnya masing-masing mengenai apa yang dianggap sebagai kepentingan umum. Padahal lebih dari pada itu, sebenarnya masih ada permasalahan-permasalahan lain yang lebih rumit lagi dalam penunaian tugas masing-masing karena perbedaan pendapat dalam interpretasi suatu peraturan.

Melalaikan Pajak




Sulfi Amalia
Fakultas Hukum UP45
Maksud dari melalaikan pajak yaitu menolak membayar yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi olehnya. Adapun hal yang paling banyak dialkukan adalah dengan berusaha menggagalkan pemungutan pajak. Contoh yang pernah terjadi, misalnya dengan menghalang-halangi penyitaan dengan cara melenyapkan barang-barang yang sekiranya akan dapat disita oleh fiskus. Cara yang paling spesifik adalah dengan jalan mengganti suatu perusahaan pribadi menjadi suatu perseroan, atau menjual barang-barang yang dapat disita maupun memindah-tangankan atas nama istri atau nama orang lain bukan karena keharusan.
Selain cara-cara di atas, masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menggagalkan pemungutan pajak. Misalnya, dengan cara mengajukan sanggahan kepada Pengadilan Negeri terhadap perintah/cara penyitaan atau dengan melancarkan surat-surat berisi protes atau keberatan-keberatan lainnya.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Guru Besar Hukum Pajak di Universitas Leyden, Prof. Mr. H. J. Hofstra, beliau menambahkan pada penghindaran diri dari pajak, suatu gejala yang terkenal dengan nama Uberwalzung atau Afwenteling (pelimpahan).
Dalam pelimpahan ini, yang dituju oleh pembuat Undang-Undang adalah semata-mata untuk dilaksanakan dalam pajak tidak langsung saja, tidak demikian halnya dengan pajak langsung. Sama sekali tidak dibenarkan apabila subjek pajak langsung melimpahan beban pajaknya kepada pihak lain karena ia sendirilah yang merupakan “destinaris”.
Hal lain yang merupakan gejala perlawanan terhadap pajak yaitu kompensasi pajak secara negatif. Seseorang yang terkait dengan hal ini akan melempar jauh-jauh kebiasaan baiknya untuk melakukan pekerjaan sampingan agar mendapatkan penghasilan-penghasilan tambahan.
Dengan adanya kompensasi pajak secara negatif, maka hal itu harus disinyalir juga dengan nama “kompensasi pajak secara positif”. Hal ini dimaksudkan agar wajib pajak merasa terkena pajak yang berat justru meningkatkan prestasi dalam usahanya, agar tidak terasakan lagi beban yang semakin memberatinya.
Penghindaran diri dari yuridis tidak menyebabkan seseorang tergolong melanggar ketentuan – ketentuan dalam undang – undang. Namun, secara ilmiah alasan mengapa ia melakukan penghindaran memang dapat di pertanggung jawabkan , di pergunakanlah segala kemungkinan yang dapat membantunya untuk meloloskan dirinya dari peraturan –peraturan yang telah di tetapkan oleh pembuat Undang – Undang Pajak.

Minggu, 22 Maret 2015

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA



Sulfi Amalia
(13.110410.3874)
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
amalia.sulfi@gmail.com
Sejak dilahirkan, masing-masing manusia sudah diberi hak oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut merupakan hak yang bersifat kodrati dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Hak yang dimaksud adalah Hak Asasi Manusia atau biasa yang disebut HAM. Menurut Slamet Marta Wardaya (dalam Muladi, 2004)[1], HAM adalah istilah lain dari Natural Rights, suatu konsep hukum alam yang relevan dengan hak-hak alam yang kontrovesial. Sebagai Natural Rights, HAM telah menjadi suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Seiring berjalannya waktu, HAM tersebut pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar yang sejalan dengan keyakinan dan praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai negara hukum yang berideologi, Indonesia menyesuaikan konsep HAM[2] dengan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut perlu dilakukan karena HAM tentu akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proporsional.
Pada dasarnya, manusia itu adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespons tetapi juga beraksi. Melalui aksinya tersebut, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk hal mana menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Tak selamanya respon-aksi tersebut berjalan secara mulus. Tentu akan ada pertikaian-pertikaian yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya, seseorang tentu sangat memerlukan HAM. HAM bukan hanya mengatur hak-hak mendasar pada manusia, akan tetapi juga mengatur bagaimana kewajiban dasar manusia, misalnya sebagai warga negara, untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, HAM juga mengatur bagaimana menghormati hak-hak orang lain, mengatur tentang etika, moral, termasuk patuh terhadap hukum internasional tentang HAM yang telah diterima dan diakui oleh bangsa Indonesia. Untuk itu, sangatlah diperlukan peran dari pemerintah Negara Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi HAM tersebut sesuai dengan hukum.
Perlindungan HAM yang sesuai dengan hukum dilakukan karena mengingat hukum sebagai perangkat peraturan yang mengatur masyarakat dan baru berarti apabila senyatanya didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan[3]. Keadilan tersebutlah yang juga diperlukan dengan adanya perlindungan HAM tersebut selain juga untuk terciptanya kehidupan yang damai.
Berbicara soal hukum, maka hukum hak asasi manusia pada intinya menjamin hak yang paling mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu hak untuk hidup, sebagaimana termuat di dalam Pasal 5 dan 8 Duham[4]. Bunyi dari Pasal 5 tersebut adalah : “ Tak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat”. Kemudian, disusul Pasal 8, yang berbunyi : “ Setiap orang berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak mendasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum”, demikian pendapat G. Robertson Q.C. (121 : 2000 ) dalam Effendi, M. (61:2005)[5].
Berdasarkan pendapat G. Robertson tersebut, kita dapat menuliskan bahwa dalam hal ini hak asasi manusia, salah satu diantaranya termasuk hak untuk hidup, sangat penting dan betapa diperlukan oleh setiap orang. Tanpa ada hak untuk hidup tersebut, maka sesorang bisa saja akan mendapatkan penindasan-penindasan dari orang lain yang lebih kuat darinya dan lebih memiliki kekuasaan yang tinggi daripada yang lain. Jika hal ini dibiarkan, maka sinkronisasi kehidupan antara orang yang satu dengan orang yang lain tidak akan dapat terwujud. Perpecahan da perselisihan tentu akan terjadi dimana-mana. Akibatnya, rasa ketidaknyamanan dalam setiap orang pun akan muncul dengan sendirinya. Untuk itu, agar hal tersebut dapat terhindar, maka diperlukan lembaga negara yang memang berwenang dalam perlindungan HAM tersebut. Hal ini mengingat setiap warga negara  berhak mendapatkan perlindungan HAM dari masing-masing negara tempat ia tinggal.
Marilah kita bernostalgia pada kejadian 21 tahun silam, yaitu tentang kasus Marsinah[6]. Kasus Marsinah terjadi pada tanggal 3-4 Mei 1993. Peristiwa ini berawal dari aksi mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka menuntun kepastian pada perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo tersebut, Marsinah malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan. Penyelidikan masih belum menemukan titik terang hingga sekarang. Melihat kasus tersebut, kita dapat berpikir bahwa dalam hal ini perlindungan atas hak-hak asasi manusia sangatlah penting.
Jika kita melihat dari sisi perlindungan HAM di Indonesia, maka hal yang paling umum kita pandang adalah mengenai Undang-Undang Dasar 1945. Mulai dari Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, kita dapat melihat apa saja hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD 1945 tersebut.  Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang di dalamnya memuat hak-hak dasar asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Adapun istilah yang ditemukan bukanlah HAM, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW), sebagaimana yang telah dikatakan oleh Mahfud MD (El-Muhtaj, M, 2005)[7] bahwa HAM jenis tersebut adalah sebagai HAM yang partikularistik.
Sehubungan dengan perlindungan HAM tersebut, tentu tak akan lepas dari tujuan negara itu sendiri. Di Indonesia sendiri, telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia IV[8] bahwa Negara Indonesia sebagai persekutuan bersama bertujuan untuk melindungi warganya terutama dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara tersebut adalah sebagai berikut :
“…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdasakan kehidupan bangsa…”
Berdasarkan pasal tersebut, maka tujuan Negara Indonesia[9] memiliki konsekuensi bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dengan Undang-Undang terutama untuk melindungi hak-hak asasinya demi kesejahteraan hidup bersama. Demikian pula Negara Indonesia juga memiliki ciri tujuan negara hukum material, dalam rumusan tujuan negara “…Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Terlepas dari perlindungan HAM oleh negara, kita sebagai warga negara tentu dapat melatih diri kita untuk melakukan penegakan HAM sehingga dengan sendirinya HAM pun akan terlindungi. Penegakan hak asasi manusia dapat kita mulai di lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Misalnya, jika kita berusaha untuk memahami bahwa saudara kita yang perempuan mempunyai hak yang setara dengan saudara laki-laki untuk mendapat pendidikan, maka kita sebenarnya telah memulai suatu langkah kecil untuk menghormati hak asasi manusia. Jika langkah kecil tersebut dilakukan oleh banyak orang, maka akan menjadi suatu langkah yang besar.
Sebagai penutup tulisan ini, yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa setiap orang menaati hak asasi sesamanya. Maka, apa pun bentuk langkah yang diambil oleh seorang untuk menunjukan penghormatan kepada HAM. Kita sebagai warga indonesia wajib mendukung adanya upaya lembaga-lembaga dalam melakukan perlindungan terhadap HAM.


[1] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat: Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Semarang, 2004, hlm. 3.
[2] Ibid., hlm. 4
[3] Sabian Ustman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 227
[4] Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 61.
[5] Ibid, hlm. 6
[6] Sumber dari blog : http://cepatlambat.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaran-ham-indonesia.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014
[7] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 61.
[8] Buku Kecil Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya, Penabur Ilmu, hlm. 6.
[9] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hlm. 221.

Wikipedia

Hasil penelusuran