Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juni 2015

Teropong HAM : Bukan Akar Masalah Pertentangan Paham di Indonesia yang Plural



Oleh : Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Hak Asasi Manusia, atau yang biasa disebut HAM, merupakan suatu hak yang melindungi kebebasan berpikir. Hak tersebut tidak bisa diganggu gugat karena berasal langsung dari Tuhan. Adanya HAM, kita juga memiliki kebebasan untuk mempercayai, menganut, atau bahkan menyebarkan suatu paham apapun. Walaupun demikian, kebebasan tersebut tetap ada batasan selama apa yang dilakukan dengan paham itu tidak merusak hak atau nama baik orang lain, keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral. Hal itu sesuai dengan Pasal 19 ayat 3 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Berbicara HAM dan paham, ada pertanyaan menarik, apakah dengan mendirikan syari’ah islam di Indonesia yang plural ini merupakan sebuah kesalahan adanya aspek dari Hak Asasi Manusia (HAM)?
Dari pertanyaan tersebut, penulis dapat menjawab sedikit dengan berpedoman pada Pasal 19 ayat 3 tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Mengingat HAM merupakan hak yang memberikan kebebasan mutlak, mendirikan syari’ah islam di Indonesia yang plural ini adalah bukan kesalahan dari HAM, apabila apa yang menjadi keyakinan dan yang disebarkan dalam paham tersebut tidak berisi hal-hal yang bertentangan dengan batasan-batasan HAM. Misalnya, apa yang disampaikan berisi hasutan untuk melakukan deskriminasi. Apabila dalam penyampaian ajaran syaria’ah tersebut mengandung hasutan agar terjadi pendeskriminasian, maka akan menyebabkan terjadinya pertentangan yang menuju pada kebencian antar ras atau agama.
Untuk kedua kalinya penulis berpendapat, bahwa HAM memiliki batasan-batasan tertentu. Jadi, tidak sembarang hak kebebasan kita pergunakan untuk hal-hal yang dapat menyebabkan permusuhan dalm negeri kita ini, negeri Indonesia yang plural ini.
Memang, masih ada orang-orang islam tertentu, salah satunya kelompok islam garis keras, beranggapan bahwa HAM merupakan agenda Barat dan karenanya harus ditentang. Data ini saya dapatkan dari tulisan Asfinawati yang berjudul : “HAM, Dialog dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia”. Dalam tulisannya, Asfinawati menulis bahwa orang Islam penganut garis keras mempercayai bahwa Barat memiliki agenda terselubung untuk melenyapkan nilai-nilai islam.
Dalam tulisannya pula, Asfinawati menganalogikan pertentangan-pertentangan tersebut dengan memperdebatkan perbedaan-perbedaan antara buku, kertas dan komputer. Menurutnya, itu merupakan pertentangan semu : muncul dari ketidaktahuan mengenai esensi, yang seringkali memiliki kesamaan, dan penonjolan atas perbedaan lahiriah atau penamaan tertentu. Di titik itulah agenda advokasi pluralisme serta kebebasan beragama menemukan tempatnya : membongkar manipulasi serta ketidaktahuan yang menjadi penopang pertentangan tak terputus. Di sinilah HAM harus menjadi alat yang menjembatani perbedaan yang nyata ada.
Untuk menjadikan HAM sebagai jembatan perbedaan yang ada, juga memerlukan kerjasama dari aparat penegak hukum. Penegakan hukum seiring dengan penyadaran hukum dan konsitusi. Penegakan hukum saja juga masih belum cukup. Hal ini disebabkan karena basis penegakan hukum yang berkeadilan adalah kesadaran akan hukum yang berspektif HAM dan penguasaan akan konstitusi secara penuh. Oleh karenanya, tidak hanya masyarakat yang harus mendapat penyadaran hukum dan konstitusi, tetapi juga aparat penegak hukum itu sendiri.

Referensi :
Ahmad Syafii Maarif, dkk. PolitikIdentitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Diakses pada tanggal 27 Juni 2015 melalui :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.abad-demokrasi.com%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Febook%2FPolitik%2520Identitas.pdf&ei=JoqOVZjoG82hugTp7oDABg&usg=AFQjCNG6CeparBXrwGqB1D7nW6PHXV0_ow&bvm=bv.96783405,d.c2E
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Diakses pada tanggal 27 Juni 2015 melalui :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.hukumonline.com%2Fpusatdata%2Fdownloadfile%2Flt4c3c7b6791fa4%2Fparent%2F24213&ei=i4qOVePsNMbluQT5v6OQBw&usg=AFQjCNFKXOKa0Z2X-E2GVtPu-voQpC1kJg&bvm=bv.96783405,d.c2E

Minggu, 19 April 2015

Hubungan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi



Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Berdasarkan konteks sejarah, pada dasarnya perjuangan mewujudkan demokrasi juga merupakan sejarah perjuangan menegakkan hak asasi manusia di dunia. Oleh karena itu, dewasa ini isu mengenai demokrasi akan selalu berhubungan dengan isu mengenai hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia adalah dua isu bahkan gerakan global yang tak terelakkan.
Perjuangan menegakkan demokrasi merupakan upaya umat manusia dalam rangka menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Demokrasi diyakini sebagai sistem politik yang dapat memberi penghargaan atas hak dasar manusia dan selanjutnya menjamin perlindungan dan penegakan atas hak-hak dasar tersebut.
Dalam pandang yang hampir sama demokrasi mencakup dua konsep pokok yaitu kebebasan/persamaan dan kedaulatan rakyat. Kebebasan dan persamaan adalah fondasi demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari penguasa. Jadi, bagian tak terpisahkan dari ide kebebasan adalah pembatasan kekuasaan-kekuasaan penguasa politik.
Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi kebebasan warganya sekaligus memberi tugas pemerintah unutk menjamin kebebasan tersebut. Persamaan merupakan sarana penting untuk kemajuan setiap orang. Dengan prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan memperoleh akses dan kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Adanya kebebasan dan persamaan adalah karena adanya pengakuan atas hak asasi manusia.
Dari uraian tersebut, kita dapat mengetahui hubungan antara hak asasi manusia dan demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat, yang pada dasarnya dikonsepsikan sebagai rakyat atau warga negara untuk mencapai kedudukannya sebagai penentu keputusan politik tertinggi. Dalam persepktif kongkret ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu negara, antara lain; berdasarkan jawaban atas pertanyaan seberapa besarkah tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang dimiliki oleh atau diberikan kepada warga Negara di Negara itu ? Makin besar tingkat kebebasan, kemerdekaan dimaksudkan di sini adalah kebebasan, kemerdekaan dan hak sebagaimana dimasukkan dalam kategori Hak-Hak Asasi Manusia generasi pertama. Misalnya, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kemerdekaan untuk menganut keyakinan politik, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.

Minggu, 12 April 2015

HAM dan Konstitusi



Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Kita tahu bahwa manusia tidak akan bisa hidup di ruang hampa. Hal ini merupakan sebuah pernyataan yang memang telah menjadi realitas kehidupan manusia. Agar tidak menjadikan dunia ini menjadi ruang hampa, maka ada beberapa faktor-faktor pendukung yang menyelimuti ruang kehidupan manusia tersebut, misalnya masalah sosial, politik, budaya, dan masih banyak lagi. Keseluruhan faktor-faktor pendukung tersebut menjadikan ruang kehidupan manusia menjadi ruang kehidupan yang aktualisasi, sehingga dengan keaktualisasian tersebut manusia menjadi lebih hidup dan bisa bersosialisasi. Inilah kemudian mengapa manusia disebut sebgai makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa ada manusia lain dalam kehidupannya. Dengan kata lain, manusia adalah bagian dari kehidupan manusia lainnya. Universalitas kehidupan dan jati diri mnausia adalah bagian dari totalitas pembangunan manusia itu sendiri.
Hak asasi manusia atau yang biasa kita sebut dengan HAM, pada hakikatnya merupakan refleksi dari eksistensi manusia. Melalui kesadaran universal, lahirlah apresiasi positif terhadap nasib dan masa depan komunitas manusia. HAM merupakan sejajaran keutuhan manusia dalam menuju kehidupan yang beradab dan sejahtera. Dari dasar tersebut, maka pelanggaran atas HAM dapat dikatakan sebagai kejahatan peradaban yang paling berbahaya. Keyakinan adanya hak-hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bentuk simpati dan empati manusia atas dirinya dan orang lain.
HAM mengalami pergeseran dari sekadar bentuk kesadaran imajiner menjelma dalam bentuk yang terukur dan konkret. Maka, seiring dengan meluasnya kehidupan, dibutuhkan regulasi yang fundamental yang kemudian dipandang mampu menjembatani beragam kepentingan yang sesekali meledak akibat desakan kepentingan individual dan komunal. Dalam hal ini,konstitusi merupakan manifestasi dari bentuk keinginan bersama yang memberikan aturan main menuju bangsa yang beradab. Untuk itu, konstitusi juga memerlukan pendidikan sebagai salah satu sarana dalam mewujudkan bangsa yang beradab itu.
Adanya pendidikan atau ilmu pengetahuan tentang HAM merupakan salah satu hal yang juga dibutuhkan oleh negara yang dalam hal ini kita khususkan pada bagian konstitusi. Masuknya materi jaminan HAM sebagai standar sebuah konstitusi adalah bukti konkretisasi tersebut. Keterjaminan HAM merupakan unsur yang krusial bagi sebuah konstitusi. Hal ini disebabkan karena konstitusi diyakini sebagai piranti terpenting dalam mengimplementasikan kepentingan hajat hidup anak-anak bangsa. Konstitusi merupakan refleksi sadar dan logis atas perjuangan pemikiran dari segenap anak bangsa.

Minggu, 29 Maret 2015

Pelanggaran HAM dalam Pilkada

Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik.
Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Munir adalah pria sederhana yang bersahaja. Ia dikenal sebagai seorang tokoh, seorang pejuang sejati, seorang pembela HAM di Indonesia, namun hanya  sedikit yang tahu kalau ia memulai memulai karirnya dengan pandangan agama yang sangat esktrim.
Sudah sering kali pelanggaran HAM terjadi di Indonesia. Kita kupas saja salah satu pelanggaran tersebut, misalnya dalam hal pilkada. Seyogianya,ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan darah segar yang menghidupkan organisme demokrasi lokal dengan berfungsinya organ-organ politik di daerah. Meski demikian, sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia, ternyata sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Salah satu penyebabnya adalah karena kebebasan yang terbuka demikian cepat menyebabkan membanjirnya partisipasi dalam pencalonan kandidat kepala daerah, sementara ruang kompetisi sangat ketat dan terbatas.
Lagi pula, bayang-bayang potensi kekuasaan dan kekayaan yang amat menjanjikan dari jabatan kepala daerah menarik minat banyak kandidat,sementara kebanyakan dari mereka tidak memiliki integritas moral dan kapabilitas keahlian memadai. Karena itu,tidak jarang cara-cara licik dan premanisme politik,entah sengaja atau terpaksa,digunakan dalam meraup preferensi politik publik.

Di sinilah pelanggaran HAM kerap terjadi. Sejatinya,apresiasi terhadap HAM merupakan elemen penting yang harus ada di dalam sistem politik demokrasi. Karena itu, dalam rangka membangun demokratisasi dalam konteks lokal maka upaya meminimalisasi –jika tidak mungkin menghilangkan– pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan pilkada merupakan hal yang signifikan untuk diwacanakan.

Minggu, 22 Maret 2015

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA



Sulfi Amalia
(13.110410.3874)
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
amalia.sulfi@gmail.com
Sejak dilahirkan, masing-masing manusia sudah diberi hak oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut merupakan hak yang bersifat kodrati dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Hak yang dimaksud adalah Hak Asasi Manusia atau biasa yang disebut HAM. Menurut Slamet Marta Wardaya (dalam Muladi, 2004)[1], HAM adalah istilah lain dari Natural Rights, suatu konsep hukum alam yang relevan dengan hak-hak alam yang kontrovesial. Sebagai Natural Rights, HAM telah menjadi suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Seiring berjalannya waktu, HAM tersebut pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar yang sejalan dengan keyakinan dan praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai negara hukum yang berideologi, Indonesia menyesuaikan konsep HAM[2] dengan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut perlu dilakukan karena HAM tentu akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proporsional.
Pada dasarnya, manusia itu adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespons tetapi juga beraksi. Melalui aksinya tersebut, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk hal mana menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Tak selamanya respon-aksi tersebut berjalan secara mulus. Tentu akan ada pertikaian-pertikaian yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya, seseorang tentu sangat memerlukan HAM. HAM bukan hanya mengatur hak-hak mendasar pada manusia, akan tetapi juga mengatur bagaimana kewajiban dasar manusia, misalnya sebagai warga negara, untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, HAM juga mengatur bagaimana menghormati hak-hak orang lain, mengatur tentang etika, moral, termasuk patuh terhadap hukum internasional tentang HAM yang telah diterima dan diakui oleh bangsa Indonesia. Untuk itu, sangatlah diperlukan peran dari pemerintah Negara Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi HAM tersebut sesuai dengan hukum.
Perlindungan HAM yang sesuai dengan hukum dilakukan karena mengingat hukum sebagai perangkat peraturan yang mengatur masyarakat dan baru berarti apabila senyatanya didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan[3]. Keadilan tersebutlah yang juga diperlukan dengan adanya perlindungan HAM tersebut selain juga untuk terciptanya kehidupan yang damai.
Berbicara soal hukum, maka hukum hak asasi manusia pada intinya menjamin hak yang paling mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu hak untuk hidup, sebagaimana termuat di dalam Pasal 5 dan 8 Duham[4]. Bunyi dari Pasal 5 tersebut adalah : “ Tak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat”. Kemudian, disusul Pasal 8, yang berbunyi : “ Setiap orang berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak mendasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum”, demikian pendapat G. Robertson Q.C. (121 : 2000 ) dalam Effendi, M. (61:2005)[5].
Berdasarkan pendapat G. Robertson tersebut, kita dapat menuliskan bahwa dalam hal ini hak asasi manusia, salah satu diantaranya termasuk hak untuk hidup, sangat penting dan betapa diperlukan oleh setiap orang. Tanpa ada hak untuk hidup tersebut, maka sesorang bisa saja akan mendapatkan penindasan-penindasan dari orang lain yang lebih kuat darinya dan lebih memiliki kekuasaan yang tinggi daripada yang lain. Jika hal ini dibiarkan, maka sinkronisasi kehidupan antara orang yang satu dengan orang yang lain tidak akan dapat terwujud. Perpecahan da perselisihan tentu akan terjadi dimana-mana. Akibatnya, rasa ketidaknyamanan dalam setiap orang pun akan muncul dengan sendirinya. Untuk itu, agar hal tersebut dapat terhindar, maka diperlukan lembaga negara yang memang berwenang dalam perlindungan HAM tersebut. Hal ini mengingat setiap warga negara  berhak mendapatkan perlindungan HAM dari masing-masing negara tempat ia tinggal.
Marilah kita bernostalgia pada kejadian 21 tahun silam, yaitu tentang kasus Marsinah[6]. Kasus Marsinah terjadi pada tanggal 3-4 Mei 1993. Peristiwa ini berawal dari aksi mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka menuntun kepastian pada perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo tersebut, Marsinah malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan. Penyelidikan masih belum menemukan titik terang hingga sekarang. Melihat kasus tersebut, kita dapat berpikir bahwa dalam hal ini perlindungan atas hak-hak asasi manusia sangatlah penting.
Jika kita melihat dari sisi perlindungan HAM di Indonesia, maka hal yang paling umum kita pandang adalah mengenai Undang-Undang Dasar 1945. Mulai dari Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, kita dapat melihat apa saja hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD 1945 tersebut.  Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang di dalamnya memuat hak-hak dasar asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Adapun istilah yang ditemukan bukanlah HAM, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara (HAW), sebagaimana yang telah dikatakan oleh Mahfud MD (El-Muhtaj, M, 2005)[7] bahwa HAM jenis tersebut adalah sebagai HAM yang partikularistik.
Sehubungan dengan perlindungan HAM tersebut, tentu tak akan lepas dari tujuan negara itu sendiri. Di Indonesia sendiri, telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia IV[8] bahwa Negara Indonesia sebagai persekutuan bersama bertujuan untuk melindungi warganya terutama dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara tersebut adalah sebagai berikut :
“…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdasakan kehidupan bangsa…”
Berdasarkan pasal tersebut, maka tujuan Negara Indonesia[9] memiliki konsekuensi bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dengan Undang-Undang terutama untuk melindungi hak-hak asasinya demi kesejahteraan hidup bersama. Demikian pula Negara Indonesia juga memiliki ciri tujuan negara hukum material, dalam rumusan tujuan negara “…Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Terlepas dari perlindungan HAM oleh negara, kita sebagai warga negara tentu dapat melatih diri kita untuk melakukan penegakan HAM sehingga dengan sendirinya HAM pun akan terlindungi. Penegakan hak asasi manusia dapat kita mulai di lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Misalnya, jika kita berusaha untuk memahami bahwa saudara kita yang perempuan mempunyai hak yang setara dengan saudara laki-laki untuk mendapat pendidikan, maka kita sebenarnya telah memulai suatu langkah kecil untuk menghormati hak asasi manusia. Jika langkah kecil tersebut dilakukan oleh banyak orang, maka akan menjadi suatu langkah yang besar.
Sebagai penutup tulisan ini, yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa setiap orang menaati hak asasi sesamanya. Maka, apa pun bentuk langkah yang diambil oleh seorang untuk menunjukan penghormatan kepada HAM. Kita sebagai warga indonesia wajib mendukung adanya upaya lembaga-lembaga dalam melakukan perlindungan terhadap HAM.


[1] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat: Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Semarang, 2004, hlm. 3.
[2] Ibid., hlm. 4
[3] Sabian Ustman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 227
[4] Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 61.
[5] Ibid, hlm. 6
[6] Sumber dari blog : http://cepatlambat.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaran-ham-indonesia.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014
[7] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 61.
[8] Buku Kecil Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya, Penabur Ilmu, hlm. 6.
[9] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hlm. 221.

Wikipedia

Hasil penelusuran