Sulfi
Amalia
Fakultas
Hukum
Sesuai
dengan apa yang telah kita ketahui bersama bahwa badan legislatif merupakan
suatu lembaga yang mempunyai tugas menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku
sebagai peraturan umum. Selanjutnya, sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan
hal-hal yang konkrit diserahkan kepada hakim yang memiliki kedudukan sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif. Dalam penyusunan suatu Undang-Undang tentu
memerlukan waktu yang sangat lama. Hal ini membuat terbentuknya suatu peraturan
perundang-undangan menjadi terbelakang jika dibandingkan dengan
kejadian-kejadian perkembangan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu,
sejatinya hakim sering harus memperbaiki Undang-Undang tersebut agar berjalan
sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat demi terciptanya
harmonisasi hukum dalam negara ini. Dalam hubungan ini, apabila hakim menambah
peraturan-peraturan, maka berarti bahwa hakim tersebut telah memenuhi ruang kosong
(leemten) dalam sistem hukum formal
dari tata hukum yang berlaku. Akan tetapi, pendapat demikian yang menyatakan
bahwa dalam sistem formal dari hukum ada ruang kosong (leemten) yang dapat
diisi oleh hakim, itu belumlah lama dianut oleh orang banyak.
Pada
akhir abad ke-19, para sarjana hukum berpendapat, bahwa hukum itu merupakan
satu kesatuan lengkap yang tertutup; di luar undang-undang tidak ada hukum, dan
hakim tidak boleh menjalankan keadaan hukum yang tidak disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan (Kansil, 1989: 70). Namun kemudian, paham tentang
kesatuan yang bulat dan lengkap dari hukum tersebut, ternyata tiak dapat
diterima oleh para sarjana hukum, salah satunya yaitu Prof. Mr. Paul Scholten.
Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan bahwa hukum itu merupakan suatu system yang
terbuka (open systeem van recht).
Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan demikian tak lain adalah berdasarkan
kenyataan bahwa semakin pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, maka dapat
menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus-menerus mengikuti proses perkembangan
masyarakat. Konsekuensi dari keadaan tersebut, hakim dapat dan bahkan harus
dapat memenuhi kekosongan yang ada dalam system hukum tersebut. Dalam hal ini,
hakim tetap memiliki batasan, yaitu hakim boleh mengisi kekosongan tersebut
asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil pada sistem hukum
yang berlaku.
Referensi:
Kansil, C.S.T. Drs. SH. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.