Senin, 19 Mei 2014

PENGISIAN KEKOSONGAN HUKUM


Sulfi Amalia
Fakultas Hukum


Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta













Sesuai dengan apa yang telah kita ketahui bersama bahwa badan legislatif merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum. Selanjutnya, sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada hakim yang memiliki kedudukan sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Dalam penyusunan suatu Undang-Undang tentu memerlukan waktu yang sangat lama. Hal ini membuat terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan menjadi terbelakang jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian perkembangan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, sejatinya hakim sering harus memperbaiki Undang-Undang tersebut agar berjalan sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat demi terciptanya harmonisasi hukum dalam negara ini. Dalam hubungan ini, apabila hakim menambah peraturan-peraturan, maka berarti bahwa hakim tersebut telah memenuhi ruang kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku. Akan tetapi, pendapat demikian yang menyatakan bahwa dalam sistem formal dari hukum ada ruang kosong (leemten) yang dapat diisi oleh hakim, itu belumlah lama dianut oleh orang banyak.
Pada akhir abad ke-19, para sarjana hukum berpendapat, bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan lengkap yang tertutup; di luar undang-undang tidak ada hukum, dan hakim tidak boleh menjalankan keadaan hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan perundang-undangan (Kansil, 1989: 70). Namun kemudian, paham tentang kesatuan yang bulat dan lengkap dari hukum tersebut, ternyata tiak dapat diterima oleh para sarjana hukum, salah satunya yaitu Prof. Mr. Paul Scholten. Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan bahwa hukum itu merupakan suatu system yang terbuka (open systeem van recht). Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan demikian tak lain adalah berdasarkan kenyataan bahwa semakin pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, maka dapat menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus-menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat. Konsekuensi dari keadaan tersebut, hakim dapat dan bahkan harus dapat memenuhi kekosongan yang ada dalam system hukum tersebut. Dalam hal ini, hakim tetap memiliki batasan, yaitu hakim boleh mengisi kekosongan tersebut asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil pada sistem hukum yang berlaku.

Referensi:
Kansil, C.S.T. Drs. SH. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.



Wikipedia

Hasil penelusuran