Sulfi
Amalia
Fakultas
Hukum
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam. Beragam dalam berbagai aspek,
mulai dari budaya, bahasa, ras, bahkan agama. Kita tahu bahwa Indonesia
memiliki 6 agama, ada Hindu, Budha, Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protenstans, dan Kong Hu Chu. Tidak hanya agama, bahasa pun demikian. Bahkan,
setiap daerah pun miliki bahasa yang berbeda-beda yang sesuai dengan nama
daerahnya. Misalnya, Bahasa Madura. Bahasa orang Madura pun akan berbeda-beda
logatnya setiap desa maupun kabupaten. Bukan hanya logat, kadang bahasa antar
desa pun berbeda.
Dengan berbagai perbedaan tersebut, banyak masyarakat Indonesia yang
membanggakan diri dengan keberagaman tersebut yang dianggap sebagai aset
kekayaan Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah layak untuk kita
yang merupakan masyarakat Indonesia, bangga dengan perbedaan-perbedaan
tersebut?
Jika kita mengacu pada apa yang selalu ditekankan oleh Nurcholish Madjid (
dalam tulisan Siti Musdah Mulia), beliau menyampaikan bahwa keanekaragaman suku
dan agama yang dimiliki negeri ini bukanlah sesuatu yang layak
dibangga-banggakan. Hal tersebut tidak unik, apalagi istimewa. Juga perlu
diingat, sebenarnya keanekaragaman bukan hanya dimiliki oleh Indonesia.
Hal yang menyebabkan Buya (sapaan akrab untuk Nurcholish Madjid) mengatakan
bahwa keanekaragaman yang dimiliki Indonesia bukanlah hal yang istimewa, karena
menurut beliau, keniscayaan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang
benar-benar tunggal, uniter, tanpa ada suatu unsur perbedaan di dalamnya. Fakta
yang ada memang demikian, tidak ada masyarakat tanpa pluralitas, khusunya dalam
persoalan agama.
Adanya persoalan perbedaan agama, harusnya kita bisa menganalisa
dan menyadari, bahwa sebenarnya perbedaan
agama tersebut menjadi sesuatu yang
mengecewakan. Mengapa demikian, alasan tersebut bersumber dari tulisan Siti
Musdah Mulia yang berjudul “Politik Identitas : Ancaman Terhadap Masa Depan
Pluralisme di Indonesia”. Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa perbedaan
dalam agama adalah suatu hal yang
mengecewakan bahwa pasca reformasi, di Indonesia muncul berbagai gerakan
yang mengarah pada eksklusifisme umat islam.
Banyaknya perbedaan
dalam agama juga memunculkan paham-paham baru. Menarik dicermati, dalam prinsip tersebut, satu
istilah mendominasi lainnya. Yang pertama diunggulkan, diandalkan,
disanjung-sanjung dan ditakhtakan, sedangkan yang lainnya direndahkan, dipinggir
kan, dilecehkan dan disampahkan. Yang satu dianggap sebagai pusat,
prinsip dan titik tolak,
sedangkan yang lainnya hanya diposisikan sebagai sampingan, marjinal
atau pinggiran, bahkan musuh.
Dalam kondisi ini, semangat dan praktel
pluralisme menemukan urgensinya. Hal ini dikarenakan pluralisme mengandung
dalam dirinya semangat persaudaraan dan solidaritas yang kokoh diantara sesama
manusia. Namun, pluralisme terlanjur dianggap sebagai barang najis dan dijauhi
oleh sebagian masyarakat. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menerapkan
pluralisme berdampingan dengan pertentangan tersebut dalam keadaan Indonesia
yang terengah-engah ini. Salah satu yang bisa dilakukan dengan adanya
pertentangan pluralisme tersebut adalah dengan meluruskan pemahaman terhadap
istilah pluralisme kepada semua kelompok yang beranggapan bahwa pluralisme itu
najis.
Daftar Pustaka :
Tulisan Siti Musdah Mulia dalam Modul Pdf Karya Ahmad Syafii Maarif, dkk. PolitikIdentitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015 melalui :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.abad-demokrasi.com%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Febook%2FPolitik%2520Identitas.pdf&ei=JoqOVZjoG82hugTp7oDABg&usg=AFQjCNG6CeparBXrwGqB1D7nW6PHXV0_ow&bvm=bv.96783405,d.c2E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar