Minggu, 17 Mei 2015

Keanekaragaman : Ancaman Pluralisme Indonesia



Sulfi Amalia
Fakultas Hukum
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam. Beragam dalam berbagai aspek, mulai dari budaya, bahasa, ras, bahkan agama. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki 6 agama, ada Hindu, Budha, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protenstans, dan Kong Hu Chu. Tidak hanya agama, bahasa pun demikian. Bahkan, setiap daerah pun miliki bahasa yang berbeda-beda yang sesuai dengan nama daerahnya. Misalnya, Bahasa Madura. Bahasa orang Madura pun akan berbeda-beda logatnya setiap desa maupun kabupaten. Bukan hanya logat, kadang bahasa antar desa pun berbeda.
Dengan berbagai perbedaan tersebut, banyak masyarakat Indonesia yang membanggakan diri dengan keberagaman tersebut yang dianggap sebagai aset kekayaan Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah layak untuk kita yang merupakan masyarakat Indonesia, bangga dengan perbedaan-perbedaan tersebut?
Jika kita mengacu pada apa yang selalu ditekankan oleh Nurcholish Madjid ( dalam tulisan Siti Musdah Mulia), beliau menyampaikan bahwa keanekaragaman suku dan agama yang dimiliki negeri ini bukanlah sesuatu yang layak dibangga-banggakan. Hal tersebut tidak unik, apalagi istimewa. Juga perlu diingat, sebenarnya keanekaragaman bukan hanya dimiliki oleh Indonesia.
Hal yang menyebabkan Buya (sapaan akrab untuk Nurcholish Madjid) mengatakan bahwa keanekaragaman yang dimiliki Indonesia bukanlah hal yang istimewa, karena menurut beliau, keniscayaan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, uniter, tanpa ada suatu unsur perbedaan di dalamnya. Fakta yang ada memang demikian, tidak ada masyarakat tanpa pluralitas, khusunya dalam persoalan agama.
Adanya persoalan perbedaan agama, harusnya kita bisa menganalisa dan menyadari, bahwa sebenarnya perbedaan agama tersebut menjadi sesuatu yang mengecewakan. Mengapa demikian, alasan tersebut bersumber dari tulisan Siti Musdah Mulia yang berjudul “Politik Identitas : Ancaman Terhadap Masa Depan Pluralisme di Indonesia”. Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa perbedaan dalam agama adalah suatu hal yang  mengecewakan bahwa pasca reformasi, di Indonesia muncul berbagai gerakan yang mengarah pada eksklusifisme umat islam.
Banyaknya perbedaan dalam agama juga memunculkan paham-paham baru. Menarik dicermati, dalam prinsip tersebut, satu istilah mendominasi lainnya. Yang pertama diunggulkan, diandalkan, disanjung-sanjung dan ditakhtakan, sedangkan yang lainnya direndahkan, dipinggir kan, dilecehkan dan disampahkan. Yang satu dianggap sebagai pusat, prinsip dan titik tolak, sedangkan yang lainnya hanya diposisikan sebagai sampingan, marjinal atau pinggiran, bahkan musuh.
Dalam kondisi ini, semangat dan praktel pluralisme menemukan urgensinya. Hal ini dikarenakan pluralisme mengandung dalam dirinya semangat persaudaraan dan solidaritas yang kokoh diantara sesama manusia. Namun, pluralisme terlanjur dianggap sebagai barang najis dan dijauhi oleh sebagian masyarakat. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menerapkan pluralisme berdampingan dengan pertentangan tersebut dalam keadaan Indonesia yang terengah-engah ini. Salah satu yang bisa dilakukan dengan adanya pertentangan pluralisme tersebut adalah dengan meluruskan pemahaman terhadap istilah pluralisme kepada semua kelompok yang beranggapan bahwa pluralisme itu najis.

Daftar Pustaka :
Tulisan Siti Musdah Mulia dalam Modul Pdf Karya Ahmad Syafii Maarif, dkk. PolitikIdentitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015 melalui :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCcQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.abad-demokrasi.com%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Febook%2FPolitik%2520Identitas.pdf&ei=JoqOVZjoG82hugTp7oDABg&usg=AFQjCNG6CeparBXrwGqB1D7nW6PHXV0_ow&bvm=bv.96783405,d.c2E

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran